Kalibagor : Suasana
peringatan maulid Nabi saw tahun ini kembali menyapa kita. Tentu sangat layak
kita merenungkan kembali keteladanan Nabi saw yang paripurna baik sebagai
pribadi, pemimpin keluarga maupun pemimpin negara. Juga penting kita renungkan
sudah sejauh mana kita meneladani Rasul saw dan benarkah kita sudah memuliakan
Beliau atau sebaliknya, tanpa kita sadari atau karena terselewengkan, yang
terjadi justru pengkerdilan terhadap teladan Rasul saw, bukannya memuliakan dan
mengagungkan (takrîman wa ta’zhîman) Beliau saw.
Meneladani Tidak Setengah-Setengah
Allah SWT
telah menegaskan dalam firman-Nya kepada kita semua:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (TQS
al-Ahzab [33]: 21)
Ayat ini
memerintahkan kita semua untuk meneladani Rasul saw. Yakni meneladani seluruh
teladan yang ada pada diri Rasul saw dalam semua aspek. Kita tidak boleh
membatasi peneladanan kita hanya pada aspek-aspek pribadi Beliau saw saja. Kita
tidak boleh meneladani Nabi saw itu terbatas pada
aspek-aspek
tertentu, misalkan aspek akhlak, aspek pribadi, dll, seraya mengabaikan teladan
yang beliau berikan dalam aspek-aspek lainnya, khususnya aspek syariah atau
hukum dan sistem. Sebab jika pembatasan itu dilakukan, maka yang demikian itu
adalah bentuk pengkerdilan terhadap teladan Rasulullah saw., dan bukan
memuliakan dan mengagungkan (takrîman wa ta’zhîman) Beliau saw.
Kita tidak
boleh terjebak, baik disadari atau tidak, pada peneladanan Rasul saw menurut
cara pandang sekulerisme. Sekulerisme memisahkan agama dari negara, kehidupan,
urusan publik dan pengaturan urusan masyarakat. Sekulerisme membatasi agama
hanya berperan dalam aspek ibadah ritual, moral dan individual dan keluarga
(nikah, talak, rujuk dan warisan).
Kita tidak
boleh terjebak meneladani Nabi saw dengan kerangka sekulerisme itu. Karena itu,
kita tidak boleh hanya meneladani Nabi saw pada aspek-aspek personal, moral dan
ibadah mahdhah, dan sejenisnya, sembari mengabaikan teladan beliau dalam
menerapkan hukum-hukum syariah, menyelesaikan berbagai perkara dan perselisihan
yang terjadi di masyarakat dengan hukum Islam dan menegakkan kekuasaan dan
sistem yang menerapkan syariah itu.
Allah SWT
memerintahkan agar kita mengambil apa saja Nabi saw bawa dan meninggalkan apa
saja yang beliau larang. Allah SWT berfirman:
… وَمَا
ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (TQS
al-Hasyr [59]: 7)
Maknanya
adalah apapun yang beliau perintahkan maka lakukanlah dan apapun yang beliau
larang maka jauhilah. Sesungguhnya tidak lain beliau memerintahkan kebaikan dan
melarang keburukan (Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Kata mâ (apa
saja) dalam ayat ini merupakan lafazh umum, jadi mencakup apa saja yang beliau
perintahkan dan apa saja yang beliau larang. Jadi ayat ini memerintahkan kita
untuk mengambil semua perintah dan larangan yang beliau bawa dan menjadikannya
sebagai pedoman. Perintah-perintah dan larangan-larangan yang beliau bawa itu
tidak lain adalah syariah islamiyah dalam segala aspeknya, bukan hanya aspek
pribadi, akhlak, ibadah, saja, akan tetapi juga mencakup syariah Islam tentang
pemeritahan, politik dalam dan luar negeri, pendidikan, sanksi dan pidana,
perekonomian, sosial dan aspek-aspek pengaturan berbagai urusan dan
penyelesaian berbagai perkara dan perselisihan di masyarakat. Karena itu, ayat
ini sesungguhnya memerintahkan kita untuk mengambil syariah islamiyah secara
keseluruhan, menjadikannya sebagai pedoman dan menerapkannya dalam kehidupan
kita.
Peringatan maulid Nabi saw sendiri bukanlah
memperingati kelahiran Muhammad saw sebagai manusia. Sebab sebagai manusia,
beliau sama saja dengan semua manusia lainnya. Peringatan kelahiran beliau
dilakukan tentu karena posisi beliau yang sangat istimewa yakni sebagai rasul
pembawa risalah/syariah Allah SWT. Allah menegaskan:
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
يُوحَى إِلَيَّ
Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa
seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu…” (TQS Fushshilat [41]: 6).
Nabi Muhammad
saw diutus sebagai rasul untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman termasuk
kita semua. Allah menegaskan bahwa rasul diutus tidak lain adalah untuk
ditaati. Allah SWT berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا
لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ …
Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan
untuk ditaati dengan seizin Allah… (TQS an-Nisa’ [4]: 64)
Jadi menaati
rasul itu telah diwajibkan (difardhukan) atas orang-orang yang kepada mereka
rasul diutus. Rasul saw diutus kepada kita semua, maka ayat ini mewajibkan kita
semua untuk menaati Rasul saw. Menaati Rasul saw tiada lain adalah dengan
menaati risalah beliau saw, menaati syariah islamiyah yang beliau bawa secara
keseluruhan tanpa membeda-bedakannya.
Meneladani Rasul saw:Tinggalkan Demokrasi
Allah SWT
berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا
شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا
فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS
an-Nisa’ [4]: 65)
Makna “Falâ
tidak seperti yang mereka klaim bahwa mereka beriman kepadamu tetapi berhukum
kepada thaghut dan berpaling darimu ketika diseru kepadamu. “Demi Rabbmu” ya
Muhammad “mereka tidak beriman” yakni tidak membenarkan Aku, engkau dan apa
yang Aku turunkan kepadamu “sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam semua
perkara yang mereka perselisihkan” (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî).
Jadi ayat ini
menegaskan bahwa seseorang tidak beriman sampai menjadikan Rasul saw sebagai
hakim dalam semua perkara. Itu artinya pengakuan keimanan seseorang harus
dibuktikan kebenarannya dengan menjadikan Rasul saw sebagai hakim dalam semua
perkara yang terjadi. Menjadikan Rasul saw sebagai hakim dalam semua perkara
pada saat ini tidak lain adalah dengan menjadikan hukum-hukum yang beliau bawa,
yaitu syariah islamiyah, sebagai hukum untuk memutuskan dan mengatur semua
perkara yang terjadi di tengah masyarakat.
Dengan
demikian ayat ini memerintahkan kita untuk menjadikan kedaulatan di tangan
syara’ saja. Itu artinya kedaulatan tidak boleh dijadikan sebagai milik selain
syara’. Kedaulatan tidak boleh diberikan kepada manusia, rakyat atau pun wakil
rakyat. Menjadikan kedaulatan di tangan rakyat adalah substansi demokrasi.
Tidak ada demorkasi tanpa kedaulatan di tangan rakyat. Dan ini jelas-jelas
bertentangan dengan perintah ayat di atas. Karena itu, jika kita mengaku
beriman, maka kita harus membuktikan kebenaran pengakuan keimanan kita itu
dengan jalan meninggalkan dan mencampakkan demokrasi. Selama demokrasi dengan
kedaulatan rakyatnya masih terus diambil, maka sesuai ayat di atas, selama itu
pula keimanan seseorang itu terus diragukan. Tentu saja kita tidak ingin
syahadat kita dan keimanan kita diragukan oleh Allah SWT dan Rasul saw kelak di
akhirat.
Selain itu,
realita berbagai problem dan masalah yang terus mendera kita, tidak lain sebab
pangkalnya adalah sistem demokrasi itu sendiri. Para penguasa dan politisi yang
korup, tidak amanah, bersekongkol dengan para cukong pemilik modal dengan
mengabaikan kepentingan dan kemaslahatan rakyat, sebab utamanya adalah sistem
politik demokrasi dengan biaya tingginya. Kebingungan dan lemahnya
pemberantasan korupsi, hukuman koruptor yang begitu ringan tidak memberi efek
jera seperti vonis untuk Angie dan koruptor lainnya, juga disebabkan karena
hukum yang dibuat manusia melalui kedaulatan rakyat.
Wahai Kaum Muslimin,
Tentu kita
semua memiliki kecintaan yang tinggi kepada Rasul saw. Tentu kita semua ingin
mengikuti dan meneladani Rasul saw sebagai bukti kecintaan kita itu. Selama ini
pun kita telah berusaha keras untuk meneladani Rasul saw dalam aspek ibadah,
akhlak, aspek pribadi juga dalam masalah keluarga dan sebagai muamalah yang
kita lakukan. Maka saatnya segera kita sempurnakan peneladanan kita itu dengan
meneladani Rasul saw khususnya dalam aspek politik dalam dan luar negeri,
pemerintahan, pidana dan sanksi, sosial, perekonomian, pendidikan dan berbagai
urusan publik lainnya. Hal itu adalah dengan jalan segera menerapkan syariah
islamiyah untuk mengatur semua urusan di masyarakat. Tentu saja hal itu hanya
bisa kita realisasikan dalam bingkai sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Itulah bukti hakiki kecintaan, penghormatan dan pengagungan kita kepada Rasul
saw, sekaligus merupakan bukti kebenaran keimanan kita.
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS
an-Nur [24]:63)
Wallâh a’lam
bi ash-shawâb.
Sumber : Al Islam Edisi 640
Informasi ini dapat dilihat juga di : http://www.kompasiana.com/ajiwibowo
Berlangganan
hub. : 08882667929 [gratis]
0 komentar:
Posting Komentar